BEREDAR berita pemerintah khususnya Kemendikbudristek akan mengganti kurikulum merdeka dengan kurikulum nasional. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemdikbudristek Iwan Syahril menerangkan, yang benar adalah Kemdikbudristek sedang merumuskan dan merancang kebijakan tentang penerapan Kurikulum Merdeka secara nasional yang selalu akan disesuaikan dengan kesiapan satuan pendidikan khususnya yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka.
Menurut Iwan, Kurikulum Merdeka mempunyai keunggulan, yakni menerapkan materi pembelajaran yang esensial. Dengan begitu, dia memastikan proses pembelajaran akan lebih mendalam. Bahkan pengembangan karakter hingga kompetensi peserta didik dapat ditingkatkan sehingga menjadi pribadi yang unggul dengan karakternya masing-masing.
Iwan juga menjelaskan, Kurikulum Merdeka juga memberikan fleksibilitas bagi pendidik untuk mengembangkan kurikulum satuan pendidikan dan melaksanakan pembelajaran berkualitas. Dengan begitu para pendidik mampu menuntaskan persoalan krisis pembelajaran,”Kurikulum ini fokus pada pendalaman, bukan kecepatan sehingga guru tidak perlu diburu-buru menyelesaikan semua materi yang harus dikuasai,” kata Iwan.
Kurikulum Merdeka menurut Iwan dapat secara adaptif digunakan dalam berbagai kondisi, sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, fleksibel. Dengan begitu pengajar atau guru dapat leluasa dalam menciptakan pembelajaran, serta berfokus pada kebutuhan murid. Tujuan Kurikulum Merdeka adalah bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pembelajaran berkualitas, menyenangkan, dan lebih bermakna.
Iwan menginformasikan, hingga saat ini sudah terdapat lebih dari 80 persen satuan pendidikan di Indonesia telah memilih dan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka secara sukarela sebagai kurikulum satuan pendidikan.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Budi Santoso Wignyosukarto melihat Kurikulum Merdeka dapat menciptakan proses pembelajaran yang relevan dan lebih dekat dengan murid. Termasuk juga kompetensi yang dibutuhkan lapangan pekerjaan yang diminati ketika lulus. “Kurikulum Merdeka dilaksanakan agar lulusan lebih dekat dengan lapangan kerja, termasuk dalam penyusunan Capaian Pembelajaran (CP), yang diharapkan sesuai dengan kompetensi tertentu,” kata Budi.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, “Regulasi ini akan memberi kepastian bagi semua pihak tentang arah kebijakan Kurikulum Nasional. Setelah Permendikbudristek ini terbit, sekitar 20 persen satuan pendidikan yang belum menerapkan Kurikulum Merdeka akan memiliki waktu 2 tahun untuk mempelajari dan kemudian menerapkannya.”
Anindito menjelaskan, yang paling penting dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah tujuan akhirnya. Di mana, kata dia, pergantian kurikulum hanya cara untuk mencapai tujuan yang semua pihak inginkan bersama, yaitu meningkatkan kualitas pembelajaran bagi semua murid.
Bekerja Pada Ujung Bukan Akar
Berganti kurikulum setiap tahun seolah hanya itu persoalan pendidikan di negeri ini. Padahal, kurikulum merdeka sejak dicanangkan sejak awal 2020 dan diterapkan secara terbatas di sekitar 3.000 Sekolah Penggerak pada 2021 kemudian tahun 2022 dan 2023, Kurikulum Merdeka menjadi opsi yang dapat dipilih oleh satuan pendidikan belum diketahui evaluasinya apakah sukses sesuai target yang dituju atau tidak.
Tidak pernah ada penjelasan resmi dari Kemendikbudristek secara terbuka untuk diketahui publik bahwa kurikulum merdeka itu telah sukses mencapai tujuannya. Setidaknya semua permasalahan terkait pendidikan sudah banyak berkurang , terutama outpun pendidikan yang berkualitas.
Yang menjadi pertanyaan, ketika kemudian diwacanakan sebagai kurikulum nasional adakah jaminan arah pendidikan kita akan lebih baik? Bukan pesimis, namun sangat yakin jika melihat landasan didirikannya kurikulum itu, sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan! Sejak awal kurikulum merdeka hanya berorientasi pada sistem belajar merdeka yang bersih dari pendidikan politik maupun agama (baca Islam).
Adanya program penguatan profil pemuda Pancasila di dalamnya menjadi bukti, adanya mindset yang salah terkait pembinaan kesadaran berpolitik, berputar pada norma kebaikan, toleransi , keberagamam dan moderasi. Sehingga melemahkan asas perjuangan yang jika dalam Islam disyariatkan secara terus menerus. Pembentukan karakter mandiri pun bukan sampai pada tahap bahwa semua hamba bagi Sang Pencipta, yang kelak dimintai pertanggungjawaban.
Tapi berputar pada “ potensi” yang ada di dirinya sehingga kurikulum merdeka hanya sebagai katalisator munculnya potensi itu, yaitu potensi kemanfaatan materi. Jika sesuai pendidikan mudah mendapatkan pekerjaan, yang itu sesuai passion maka pendidikan dianggap sukses. Terlebih ada beberapa sekolah atau perguruan tinggi yang berafiliasi dengan perusahaan asing di luar negeri. Dibuatkan magang kerja dengan sistem kontrak. Mereka yang di Indonesia berpendidikan tinggi dan trampil, di negeri orang hanya butuh. Meskipun gajinya 10 kali lipat gaji yang bakal di terima di Indonesia, itu pun jika ada lapangan pekerjaannya.
Faktanya menuntut ilmu diseret secara brutal pada kemudahan lapangan pekerjaan. Bagaimana caranya agar mutu siswa lebih baik dalam ranah mudahnya mendapatkan pekerjaan, dengan mengkampanyekan hasil pendidikan adalah mudahnya akses ke arah pekerjaan. Terutama di era digital, yang mana pekerjaan tak harus di kantor. Tapi sesuai karakter siswa, pembelajaran tak harus dipaksa, pendidikan pun tak perlu tinggi. Negara pun hanya bekerja pada hal yang bukan menjadi akar persoalan mengapa pendidikan tidak bisa menciptakan kesejahteraan. Atau mengapa pendidikan belum merata dinikmati setiap individu masyarakat.
Pendidikan Terbaik Hanya Jika Terapkan Syariat Islam
Islam sebagai agama yang sempurna juga mengatur pendidikan, jangan salah kaprah, pendidikan Islam bukan hanya yang ada di pondok pesantren dengan kurikulumnya. Sebab, kemunculan pondok pesantren sejatinya adalah upaya para ulama kita yang ingin menutup celah sistem sekuler, yang memisahkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Sehingga ada sekolah umum, ada sekolah Islam dan ada pondok pesantren. Semua ulah kapitalisme.
Persoalan dunia pendidikan yang belum tersentuh pemerintah adalah kurangnya jumlah dan kualitas SDM pendidikan, kesejahteraan tenaga pendidik yang kian kesini kian tak jelas, infrastruktur pendidikan yang terkait kebutuhan pendidikan, sistem administrasi yang berbelit bahkan berbasis riba hingga UKT pun boleh dibayar dengan pinjol. Inilah bukti liberalisasi pendidikan yang dalam sistem kapitalisme adalah keniscayaan, mirisnya turut memperparah akses pendidikan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan.
Bagaimana pula dengan output pendidikan yang doyan bullying, pergaulan bebas, tak kenal halal haram dan lain sebagainya, semestinya inilah PR besar negara yang harus segera dituntaskan.
Terlebih belum terwujudnya pemerataan kesejahteraan ,pendidikan seolah hanya penting untuk mereka yang mengejar intelektualitas, disinilah peran negara yang sangat krusial, ketimpangan pengurusan urusan rakyat di satu sisi pasti akan berimbas pada sisi yang lain. Sayangnya dalam kapitalisme, pemerintah tak bisa berbuat banyak, fungsi pokok mereka hanyalah regulator kebijakan, yang bertugas menggodok kebijakan yang memudahkan para investor mengelola pendidikan. Dari mulai pendanaan, infrastruktur, tenaga ahli hingga regulasi-regulasi yang merusak generasi atas nama bisnis dan edukasi.
Padahal pendidikan merupakan salah satu kebutuhan asasi rakyat. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan gratis, menyediakan sarana prasarana, serta menyediakan SDM andal untuk melahirkan generasi cerdas dan berkarakter Islam untuk melanjutkan peradaban. Peran strategis para akademisi ini membuat negara berkewajiban untuk mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan mereka.
Melalui pembiayaan berbasis baitulmal, negara memenuhi kebutuhan rakyat tanpa kecuali. Negara memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Juga pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara yakni usyur, khumus, rikaz, dan tambang.
Melalui mekanisme tersebut, kita bisa melihat bagaimana sejarah kekhalifahan Islam yang memberi penghargaan kepada para pengajar sejumlah gaji yang menjamin kesejahteraan mereka. Sudah masyhur apa yang Imam ad-Dimasyqi riwayatkan bahwa Umar bin Khaththab membayar guru di Madinah senilai 15 dinar. Raghib as-Sirjani dalam kitab Mādza Qaddama al-Muslimūna li al-‘Ālām menerangkan bahwa pada masa Daulah Abbasiyah, gajinya bahkan bisa mencapai 200 dinar.
Kurikulum pun disusun oleh negara berdasarkan akidah Islam,baik untuk sekolah negara maupun individu rakyat yang ingin mendirikan sekolah. Tak ada beda bagi rakyat miskin atau non muslim, sementara untuk akidah dan ibadah non muslim negara tidak ikut campur. Akses dimudahkan, bahkan gratis. Setiap orang pun berhak menempuh pendidikan setinggi mungkin, tak selalu harus berakhir dengan bekerja.
Sebab perkara pemenuhan kebutuhan pokok lainnya sudah dipenuhi oleh negara. Pendidikan tidak ikut campur kecuali menyediakan para khubara (ahli) untuk berkontribusi kepada negara dan masyarakat. Hanya dengan Islam bangsa ini akan menjadi lebih baik sebagaimana Allah swt berfirman yang artinya, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah.”(TQS. Ali Imran 3: 110). Wallahualam bissawab.