Di sana cerita sejarahnya dibuat mendetail. Properti yang digunakan untuk syuting juga begitu. Misalnya, filmnya bercerita tentang kerjaan 1930, ya beneran bentuk asli dan disesuaikan skenarionya. Kalau di kita kan nggak, rada asal, yang penting hiburan. Kadang aneh, desain rumahnya nggak jelas alias nggak nyambung.
Selain itu apa lagi, Om?
Di sana orang-orangnya sangat professional. Calling pukul 09.00, itu on time. Waktu saya menyutradarai Deru Debu pada 1994, mau menerapkan metode cara kerja di Hongkong di sini tuh nggak bisa. Calling pukul 09.00, bisa mulai pukul 12.00. Hahaha.
Selama meniti karier, perjuangan ketika di fase apa yang paling memberi Om pelajaran?
Ya waktu saya pindah-pindah kos itu sekitar 1977–1978. Sebab, waktu itu ya nyari yang murah. Pada zaman itu, biaya kos sebulan masih Rp 15 ribu. Bahkan, saya pernah diusir karena belum membayar kos waktu ngekos di Mangga Besar, Jakarta Pusat. Hahaha.
Lalu, bagaimana pandangan Om selaku artis laga senior dengan perkembangan film maupun aktor laga sekarang?
Menurut saya, industri film laga di sini agak merosot ya, udah nggak muncul lagi bahkan. Zaman dulu, selain saya, ada Berry Prima, Advent Bangun, dan lainnya. Kemudian dilanjut Joe Taslim dan Iko Uwais. Nah, setelah mereka ini belum kelihatan lagi generasi berikutnya. Dan, itu sangat disayangkan.
Sekarang, Om sudah jarang terlihat di layar kaca. Kenapa?
Ya saya lagi santai-santai saja di rumah karena memang udah nggak mau stripping. Nerima tawaran job yang pendek-pendek aja. Maklum sudah usia segini, jadi nggak bisa yang berat-berat, hehehe.
TRIVIA
Sebelum ke Hongkong, Willy mengaku pernah diramal Nawi Ismail bahwa dirinya akan berlaga di sana.
Tidak pernah bercita-cita menjadi aktor terkenal.
Kali pertama terjun ke industri film berdasar referensi dari kakak sahabatnya, yakni Lenny Marlina.
Di rumah, selain berolahraga dan berjemur, aktivitas Willy adalah berkebun.
Selain itu, dia hobi mengoleksi senjata tradisional dari daerah di Indonesia dan luar negeri. Sekarang jumlahnya mencapai 50 senjata.