BANDA ACEH – Sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky alias Eky, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon, diwarnai suasana haru dan isak tangis, Rabu (11/9/2024). Sidang itu diajukan oleh enam terpidana kasus tersebut, yakni Jaya, Supriyanto, Eko Ramadhani, Eka Sandi, Hadi Saputra dan Rivaldi Aditya Wardana.Keenam terpidana itupun dihadirkan dalam sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Arie Ferdian. Keharuan suasana sidang terjadi saat salah seorang pemohon yang juga terpidana kasus tersebut, Hadi Saputra, memberikan kesaksiannya mengenai tindak kekerasan yang dialaminya saat menjalani pemeriksaan polisi pada 2016.
Saat itu, tim kuasa hukumnya menanyakan terlebih dulu mengenai kronologis aktivitas yang dilakukan Hadi, sebelum dan sesudah kematian Vina dan Eky pada 27 Agustus 2016. Hadi pun menjelaskan tidak tahu menahu kejadian tersebut dan tidak berada di lokasi kejadian. Di malam kematian Vina dan Eky, dia mengaku tidur di rumah kontrakan ketua RT Pasren, bersama para terpidana lainnya. Hadi juga mengaku tidak mengenal sama sekali kedua korban, baik Eky maupun Vina.
Hadi kemudian menjelaskan tentang proses penangkapannya bersama terpidana lainnya ketika sedang nongkrong di depan SMPN 11 Kota Cirebon. Dia mengatakan, polisi saat itu tidak menunjukkan surat apapun dan langsung memaksanya untuk masuk ke dalam mobil bersama tujuh orang temannya.
Hadi dan tujuh temannya ternyata dibawa ke Mapolres Cirebon Kota. Saat turun dari mobil, mereka disuruh jalan bebek (jalan jongkok). ‘’Saya baca ‘Unit Narkoba’. Saya masuk dibawa ke ruangan itu,’’ katanya.
Hadi pun menerangkan tentang penyiksaan yang dialaminya setelah berada di Mapolres Cirebon Kota. Dia menjelaskannya dengan suara tercekat dan sesekali menangis.
‘’Dipukulin, diinjek-injek, pakai tangan, pakai kaki, apa aja yang ada di situ. Saya mikir, ini ada apa? Di situ saya habis dipukulin, terus ada yang datang (dan bertanya) ‘kalian tahu nggak siapa yang kalian bunuh?’, ‘lah siapa pak? Tahu juga nggak kejadiannya’,’’ tutur Hadi.
‘’(Polisi mengatakan) nih bapaknya. Cuma saya nggak lihat. Nggak tahu siapa namanya. Setelah kasus ramai, baru tahu kalau itu Rudiana,’’ ucap Hadi.
Hadi kemudian dipindahkan oleh salah satu anggota polisi ke ruangan kosong dan disuruh jongkok. Dia mengaku dipukuli lagi sampai muntah darah, baik dari mulut maupun hidung. Setelah itu, dia disatukan lagi dengan para terpidana lainnya.
‘’Sekitar Maghrib kami mau dibawa ke ruang sel tahanan, tapi nggak dimasukin, cuma disuruh di depan penjagaannya. Di situ jongkok dan tangan saya dipukulin pakai penggaris besi. Anggota, yang namanya Pak Anwar, dia ambil gembok, pukul-pukulin kepala saya sampai darah keluar kayak air mancur,’’ terangnya.
Hadi dengan didampingi kuasa hukumnya pun maju ke hadapan majelis hakim untuk menunjukkan bekas luka di kepalanya itu.
‘’Setelah kita disiksa di situ, setelah agak lama, ada (terpidana) yang haus minta minum, ternyata dikasihnya air kencing,’’ kata Hadi, dengan tangis yang tak bisa terbendung.
Hakim kemudian memutuskan sidang diskorsing sekitar sepuluh menit. Dia mempersilakan Hadi untuk menenangkan diri terlebih dulu di luar ruangan sidang.
Setelah sidang dilanjutkan, Hadi pun kembali melanjutkan ceritanya. Dia dan teman-temannya di malam itu sempat diberi makan berupa nasi bungkus.
‘’Dikasih sambil dilempar, nasinya berserakan. Kita tidak boleh makan pakai tangan. Harus langsung pakai mulut. Saya diperlakukan seperti binatang di situ,’’ tutur Hadi.
Setelah mengalami penyiksaan sejak sore hari, Hadi mengaku dibawa ke ruang reskrim sekitar pukul 02.00 WIB (1 September 2016). ‘’Di situ kami disuruh ngakuin pembunuhan. Saya mengelak, tapi tetep percuma,’’ ucap Hadi.
Hadi melanjutkan, pada pagi hari saat pergantian piket polisi, mereka disuruh ‘olah raga pagi’. ‘’Di situ kita disiksa lagi, dipukulin lagi, diinjek-injek,’’ ucapnya.
Hadi pun menceritakan saat itu alat kelamin mereka dibakar. Mereka, kata Hadi, juga diolesi balsam sehingga mereka susah untuk tidur atau bahkan sekadar duduk.