Jumat, 15/11/2024 - 16:03 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

AREMANIA, klub suporter Arema FC, telah mensomasi Presiden Joko Widodo, Kapolri, Ketua Umum PSSI, Panglima TNI, Menpora, DPR RI, PT LIB (Liga Indonesia Baru), Direktur LIB dan panpel kompetisi sepakbola di Kanjuruhan Malang lalu, paska tragedi Kanjuruhan.

Seminggu lalu, Sabtu (1/10), kita mengenang tragedi besar dalam sejarah persepakbolaan kita, sebuah pembantaian brutal terhadap suporter sepak bola. Catatan kematian terakhir adalah 131 jiwa, diantaranya puluhan anak-anak dan wanita.

Dari sembilan poin somasi Aremania, kita akan membahas poin pertama, yakni permintaan maaf dari Presiden, Ketua Umum PSSI, Kapolri, Panglima TNI, dan lainnya. Poin permintaan maaf adalah poin budaya, bukan soal apakah pihak yang dituju terkait langsung, melainkan sebuah pertanggungjawaban moral, khususnya ketika kejadian ini adalah persoalan nasional dan bahkan internasional, jadi kita bukan hanya sekedar mencari kambing hitam.

Permintaan maaf terutama ditujukan pada ketua PSSI. Sebab, netizan dan masyarakat meyakini bahwa PSSI lah simbolik identitas persepakbolaan kita.

Permintaan maaf dari Iwan Bule (Mochammad Iriawan, ketua umum PSSI) sebenarnya sudah dia sampaikan pada Minggu (2/10). Namun, kenapa masyarakat tetap tidak puas dan tetap masih meminta Iwan Bule meminta maaf? Bahkan suara itu terus menggema di media sosial?

Untuk Iwan Bule ini, sebenarnya permintaan maaf yang diinginkan masyarakat, khususnya netizen, bukan sekedar minta maaf saja, melainkan minta maaf yang disertai rasa bersalah, malu dan lalu mengundurkan diri dari ketua umum PSSI. Sebab, di Indonesia permintaan maaf seringkali hanya merupakan “lip service”, tanpa makna.

Dalam berbagai media, disebutkan Iwan Bule tidak terima dengan permintaan netizen agar dia mengundurkan diri, bahkan katanya dia harus terus menjabat sebagai bentuk tanggung jawab. Dengan demikian, menurutnya, dia justru harus mengaudit kenapa kerusuhan itu terjadi. Dan dia juga merasa tidak terlibat dalam tataran teknis pelaksanaan pertandingan, khususnya urusan pengamanan, antara Arema FC dan Persebaya itu.

Sesungguhnya, permintaan mundur pada Iwan Bule bukan saja dari netizan, yang dalam petisi change.org saja sudah mencapai 32.000 orang, melainkan banyak pihak, baik ketua Bonek (supporter Surabaya), Barnis (Relawan Anies), pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan tokoh-tokoh persepakbolaan.

Sebenarnya bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius? Apakah permintaan suporter Arema FC terlalu mengada-ada?

Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar. Kita mulai dari membandingkan dengan Korea Selatan. Mengapa Korea, karena bangsa ini masuk dalam rumpun “Shame Culture”, bukan “Guilt Culture”, seperti Jepang, Ras China dan juga Indonesia.

Dalam “The Shame Culture”, David Broke, The New York Times (15/3/2016), mengatakan bahwasanya seseorang sangat takut mengalami “social exclusion”, apalagi di era media sosial saat ini

Pada medio April 2014, sebuah kapal ferry yang mengangkut ratusan pelajaran tenggelam di Korea. Sebanyak 187 orang meninggal. Sebelas hari kemudian Perdana Menteri Korea menyatakan mundur dari pemerintahan. Dalam pernyataannya yang dimuat BBC (27/4/14), “cries of the families of those missing still keep me up at night” (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam).

The Guardian (27/4/14) memberitakan bahwa mundurnya Chung Hong Won itu sebagai simbol maaf dari pemerintah Korea. Di Korea, Chung adalah orang kedua setelah Presiden. Meskipun urusan tenggelamnya The Sewol Ferry secara teknis adalah tanggung jawab kapten kapal, krew dan pejabat terkait lalulintas kapal, namun rasa malu, rasa bersedih dan penghormatan terhadap keluarga yang berduka diambil tanggung jawabnya oleh kepala pemerintahan. Itulah “Shame Culture”.

Di Indonesia pepatah Jawa “Wedi Wirang, Wani Mati” merupakan ajaran yang sama dengan di Korea Selatan di atas. Artinya takut menanggung malu, lebih baik mati. Memang tidak seperti di Korea maupun Jepang yang sudah sangat terkenal budaya ini, tapi sebagai umpama, ada juga di Indonesia, misalnya, eks Dirjen Perhubungan Darat, Kemenhub, Djoko Sasono.

1 2 3

Reaksi & Komentar

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَىٰ حِينٍ البقرة [36] Listen
But Satan caused them to slip out of it and removed them from that [condition] in which they had been. And We said, "Go down, [all of you], as enemies to one another, and you will have upon the earth a place of settlement and provision for a time." Al-Baqarah ( The Cow ) [36] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi