BANDA ACEH -Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan, intimidasi dan kecurangan pada Pemilu 2024 telah menggembos perolehan suara PDIP pada Pemilu 2019 meraih 27.053.961 suara atau 19,33 persen. Sementara, pada Pemilu 2024, perolehan suaranya menjadi sekitar 17 persen.
“Sebulan sebelum Pemilu 2024, pada 14 Februari 2024, hasil survei internal PDI Perjuangan menyebut, perolehan suara akan berkisar 21 persen hingga 24 persen. Bahkan, di beberapa wilayah melampaui angka itu,” kata Hasto, Minggu (17/3).
Ia mengatakan, saat hitung cepat perolehan suara PDIP sekitar 17 persen yang setara dengan 115 kursi di DPR RI. Namun, ia mengaku kaget karena PDIP menargetkan 150 kursi di parlemen.
Setelah dilakukan penelaahan di lapangan, lanjut Hasto, ditemukan bahwa penyebab merosotnya suara tersebut adalah terjadinya kerusakan demokrasi yang diawali ‘abuse of power’ oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, adanya praktik intimidasi yang luar biasa terhadap kader PDIP yang punya kekuatan struktural ke bawah, baik anggota legislatif yang sedang menjabat, kepala daerah dan struktur partai partai. Pada saat yang bersamaan digunakan instrumen negara dan sumber negara.
“Itulah kemudian yang mengubah peta Politik sehingga akhirnya perolehan sekitar 17 persen. Bukan hanya sekadar intimidasi, tetapi ini hasil operasi dari hulu ke hilir yang sebenarnya ditujukan kepada paslon Ganjar-Mahfud, tetapi di lapangan PDI Perjuangan juga mengalami tekanan yang sama,” jelasnya.
Hasto pun membeberkan sejumlah bukti intimidasi yang dialami para kader PDIP hingga kepala desa oleh oknum TNI dan Polri. Salah seorang kader yang mengalami intimidasi adalah mantan Gubernur Bali I Wayan Koster.
Menurutnya, Wayan Koster mendapat intimidasi ketika bergerak untuk memenangkan paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud. Setelah diintimidasi, ujar Hasto, Koster tetap mengkampanyekan Ganjar-Mahfud, yang membuat aparat mencari kesalahan Koster dan melaporkannya (pengaduan masyarakat) ke Polri.
Berdasarkan pengaduan yang direkayasa itu, Kapolda Bali memanggilnya dua pekan sebelum pencoblosan. Selain Koster, kader lain yang diintimidasi adalah Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, sejumlah bupati, dan anggota DPR (inkumben).
“Di Nganjuk, Jawa Timur setiap anggota DPR inkumben yang memiliki basis massa kuat turun ke lapangan diawasi oleh tiga oknum TNI, tiga oknum Polri, dan seorang anggota Bawaslu. Ini bentuk intimidasi,” ungkap Hasto.
Hasto juga menyebut, ada kepala desa di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) ditekan oknum TNI dan Polri, dalam bentuk kekerasan verbal.
“Masih mau tidur sama istrinya? Kalau masih mau tidur sama istri jangan bantu paslon 01 atau 03 harus bantu 02,” pungkas Hasto, menirukan oknum kepala desa yang diintimidasi.