Sebagai Kepala Staf AD, ia memprakarsai pembentukan Badan Tabungan Wajib Perumahan TNI-AD untuk memudahkan prajurit membeli rumah.
Puncak karier Try Sutrisno datang pada tahun 1988, ketika ia diangkat sebagai Panglima ABRI, menggantikan L.B. Moerdani.
Dalam perannya sebagai Panglima ABRI, Try Sutrisno memimpin operasi militer untuk menanggulangi pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Aceh pada 1992.
Namun, masa jabatannya juga tercatat sebagai periode berlakunya insiden-insiden kontroversial, termasuk Insiden Talangsari dan Insiden Dili di Timor Timur, yang memicu kecaman internasional terhadap pemerintah Indonesia.
Wakil Presiden Indonesia
Pada Februari 1993, setelah masa jabatannya sebagai Panglima ABRI berakhir, Try Sutrisno dicalonkan oleh fraksi ABRI untuk menjadi Wakil Presiden Indonesia.
Meskipun secara teknis fraksi ABRI memiliki hak untuk mencalonkan, hal ini memicu ketegangan dengan Presiden Soeharto, yang awalnya merasa didahului dalam proses pencalonan.
Namun, pada akhirnya Soeharto menerima Try Sutrisno sebagai calon Wakil Presiden, dan ia terpilih dalam Sidang Umum MPR pada tahun 1993.
Sebagai Wakil Presiden, Try Sutrisno tidak pernah sepenuhnya dilibatkan dalam pembentukan kabinet dan kebijakan-kebijakan utama, yang membuat hubungan antara dirinya dan Soeharto sedikit tegang.
Pada 1995, Try sempat mengkritik kebijakan ekonomi dan bisnis yang melibatkan anak pejabat, yang membuat pemberitaannya dibatasi.
Ketegangan semakin meningkat pada akhir 1997, ketika Soeharto memilih untuk tidak mendelegasikan tugasnya kepada Try Sutrisno selama perawatan medis di Jerman, meskipun Try merupakan calon yang diperkirakan bisa menggantikan Soeharto sebagai Presiden.
Pasca Jabatan Wakil Presiden
Pada tahun 1998, setelah lengsernya Soeharto, Try Sutrisno terpilih sebagai Ketua Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) dan berhasil menyatukan organisasi tersebut.
Selain itu, Try juga menjadi sesepuh di partai Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yang dipimpin oleh Jenderal Edi Sudrajat.
Pada tahun 2005, Try Sutrisno bersama sejumlah tokoh politik lainnya membentuk Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu, yang mengkritik pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono terkait beberapa kebijakan penting.
Namun, setelah pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Try mulai melunak dan mendukung beberapa kebijakan pemerintah.[]