Sumini seorang ibu rumah tangga di Desa Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Salah satu desa yang terletak di kaki bunung berapi aktif Burni Telong selain Desa Kenine, Fajar Harapan dan Rembune.
Dulunya Sujito sehari-hari bekerja sebagai tukang bengkel. Namun ketimbang aktivitas perbengkelannya, Sujito justru lebih sering naik gunung.
Dalam kepala Sumini pastilah orang yang pergi ke gunung akan membawa sesuatu entah itu kayu atau hasil hutan lain yang bisa dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Namun yang dilakukan suaminya malah bertolak belakang; membawa beras, gula, atau bumbu-bumbu dapur ke gunung.
“Waktu itu yang ada beras di rumah pun habis dibawa bapak ke gunung,” kenangnya tertawa mengingat betapa ia kesal sekali dengan kebiasaan suaminya.
Karena takut semakin bergejolak, Sujito perlahan membujuk Sumini untuk ikut bersamanya naik ke gunung. Nihil, Sumini menolak. Tak patah arang, rayuan itu terus disuntikkan.
Sumini diiming-imingi cerita aneka jenis hewan yang hidup harmonis di hutan Damaran, dan yang paling penting ada berbagai jenis bunga yang nantinya bisa ia jual.
“Ada banyak anggrek buk di sana, nanti bisa ibu jual. Dan ada potensi wisata di sana, nanti bisa ngajak anak-anak mahasiswa” ujarnya menirukan kembali bujukan suaminya agar ia bersedia naik gunung.
Tentu saja perihal menjual anggrek itu hanya sebatas rayuan di balik misi Sujito agar istrinya itu melihat langsung kondisi hutan Damaran dan mau sejalan dengan aksi yang belakangan ia kerjakan: menulusuri hutan dan memastikan tapal batas wilayah hutan yang tidak boleh ditebang dan dijadikan perkebunan. Namun perihal potensi wisata ia tampaknya serius. Bertahun-tahun setelah pembicaraan itu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Aceh; Universitas Syiah Kuala, Universitas Malikussaleh, Universitas Islam Negeri Ar-raniry, Al-Muslim, dan Universitas Teuku Umar silih berganti datang, untuk wisata atau penelitian.
Sumini tentu saja tergiur dengan rayuan suaminya “Waktu itu ibu pikir ya enak lah, bunga anggreknya bisa dijual, hahahhah,” ujarnya bercerita membayangkan waktu itu yang ada dalam kepalanya adalah kalkulasi jumlah uang yang akan didapatnya.
Jadilah suatu hari di tahun 2009 itu Sumini berangkat bersama suami dan teman-teman suaminya ke hutan Damaran. Ternyata yang diceritakan suaminya bukan bualan belaka. Benar banyak sekali anggrek berbagai jenis dan warna, benar pula perihal aneka jenis hewan yang hidup di dalam hutan Damaran “begitu sampai di sana enggak ada satu pun hewan yang menyerang, ibu melihat gimana hewan-hewan itu menerima kedatangan kami,” kenangnya.
Hari itu kali pertamanya naik gunung dan masuk hutan, ia menyaksikan lebih dari yang diceritakan sang suami: savana hijau yang luas, pepohonan rimbun, air terjun panas yang tentu saja menggembirakan di tengah dinginnnya udara Bener Meriah, dan tentu saja pohon-pohon tumbang pasca ditebang dan titik-titik hutan lainnya yang dijadikan kebun tanpa pohon kayu.
Alih-alih teringat dengan anggrek yang bisa dijual, sepulangnya dari gunung pikirannya justru dipenuhi dengan gambaran hutan Damaran yang indah dan lahan-lahan terbuka penuh kayu tumbang itu. “Makanya sering longsor dan banjir di kampung,” tuturnya menyimpulkan.
Ia akhirnya mengajak ibu-ibu di Desa Damaran ikut naik ke gunung melakukan patroli. Bersama rombongan suaminya, Sumini dan beberapa perempuan yang ikut menandai titik-titik yang rusak dan mencari dalangnya. Juga membuat jalur menuju puncak gunung Damaran, jalur ke air panas, jalur menuju anggrek, dan jalur menuju wilayah hutan yang sedang dirambah.
2011 saat sedang melakukan patroli dengan teman-temannya, Sumini mendapati wilayah hutan yang sedang digunduli ternyata dilakukan oleh tetangganya sendiri. Si tetangga memperistri perempuan asal Tapaktuan, Aceh Selatan dan dari sanalah dia membawa pulang gergaji mesin.
Suatu sore di tahun 2011 itu, saat si tetangga sedang menyeruput kopi sore Sumini datang dan memberitahu untuk tidak menebang pohon “Itu kawasan hutan lindung, makanya lah kita di Damaran ini banjir, bang,” dari suaminya ia tahu bahwa hutan yang ditebang masuk dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).