Ucapan Sumini itu tak digubris. Hari berikutnya Sumini datang lagi, kali ini bersama Sujito, membawa serta ponsel jadul miliknya. Si tetangga ia tanyai biodata diri, ia mintai KTP.
“Untuk apa ini bang?” tanya si tetangga.
“Enggak apa-apa, untuk data,” kata Sujito, di sampingnya Sumini sedang mencatat di ponsel jadul.
Entah karena sulitnya mencari informasi benar tidaknya pengumpulan data itu, aktivitas tebang kayu si tetangga dan istrinya berhenti. Mereka kembali ke Tapaktuan.
Dari patroli yang dilakukan mereka juga menemui hutan yang berubah menjadi kebun kopi. Pohon-pohon seperti pinus, gesing dan grupel ditebang.
“Memang mereka ganti dengan pohon pete atau lamtoro, cuma kan pohon yang ditebang itu pohon-pohon lama, mungkin kita engak bisa menemukan jenis pohon yang sama lagi,” ujar Sumini menyesalkan penebangan pohon untuk dijadikan kebun, terlebih pohon grupel hanya tumbuh di dataran tinggi Gayo; Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Terkadang mereka kesulitan mencegah pembalakan liar di kaki-kaki gunung Burni Telong itu. Sering kali si penebang membantah dengan alasan mereka tidak memiliki izin patroli, tidak ada hak melarang-larang, atau hutan yang ditebang bahkan bukan dalam wilayah Damaran.
Sumini tidak berhenti mengajak ibu-ibu lain bergabung melakukan patroli dan mencegah penebangan di hutan. Beberapa ibu-ibu yang berhasil diajak menganggap yang disampaikan Sumini masuk akal sebab banjir tahunan selalu menyapa desa mereka.
Sungai yang mengaliri desa mereka sudah sejak lama bergelar weh gile (air gila). Menyandang gelar gila sebab seringkali secara tiba-tiba menerabas desa dengan debit air yang sangat besar. Memboyong serta batu besar dan kayu-kayu gelondongan hasil penebangan di hutan sana. Batu-batu itu hingga kini masih terlihat di kebun warga, termasuk di tengah kolam di lahan budidaya madu yang dimiliki oleh kelompok masyarakat Damaran Baru. Terparah tahun 2015, delapan belas rumah warga Damaran hanyut disapu banjir bandang. Kebun-kebun kopi yang berada tak jauh dari sungai berganti bebatuan besar dan tanah.
“Dari sini sampai sana habis dibawa air,” ujar Sumini menunjuk kebun kopi berjarak sekitar 20 meter dari bibir sungai, Sabtu pagi di bulan Agustus saat tim HARIANACEH.co.id bersama Sumini berjalan menelusuri pinggiran hutan Damaran. Luas kebun yang dibawa air itu sendiri sekitar 10 meter.
Beruntung awal 2019 Sumini yang saat itu tengah mengikuti seminar di Bener Meriah bertemu dengan Rubama, aktivis lingkungan yang setelah mendengar cerita Sumini menawari bantuan untuk mengurus perizinan kelompok penjaga hutan di Damaran melalui perhutanan sosial dengan skema hutan desa.
November 2019 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat izin pengelolaan hutan kepada Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran. Sebelumnya sejak tahun 2010, mereka- laki-laki dan perempuan bergerak melalui Lembaga Swadaya Masyarakat Burni Telong inisiasi Sujito yang saat itu menjabat Kepala Desa Damaran. Pasca banjir bandang 2015, kaum perempuan semakin banyak bergabung dan dilibatkan dalam pengelolaan hutan. KLHK memberi izin seluas 251 hektar dalam pengelolaan LPHK Damaran. Sumini sejak surat izin itu keluar menjadi ketua LPHK Damaran Baru.
Kata Sumini tidak ada batasan apa pun jika ada perempuan yang ingin ikut patroli bersama, cukup dengan izin suami-keluarga dan kondisi tubuh yang sehat. Mpu uteun ‘penjaga hutan’- begitu sebutan untuk kaum perempuan penjaga hutan- dibagi dalam dua tim setiap patrolinya, mereka akan menyusuri hutan selama 10 hari bersama lima laki-laki, per tim berisi delapan orang.
Berbagai jenis benih dan biji-bijian seperti jambu biji, nangka, dan sirsak mereka bawa saat patroli, ditanami untuk pakan hewan di hutan. Alhasil setup madu miliki warga yang meskipun diletakkan jauh dari rumah tak pernah dirusak beruang madu. Tak pernah lagi juga desa mereka dilanda banjir. Anak-anak pun sudah diperbolehkan orang tuanya untuk memancing di sungai wih gile.
Kebun kopi di sepanjang bantaran sungai wih gile mulai terisi kembali.