Jurnalisme online kerap menjadi sorotan karena sering kali mengabaikan (mengorbankan) prinsip-prinsip dasar yaitu; akurasi berita. Akibatnya, bukan mustahil menghasilkan berita-berita hoax karena minimnya verifikasi sumber. Lantas, bagaimana dengan berita dugaan “jual-beli darah” di UDD PMI Banda Aceh?
WALAU sempat viral, kini pemberitaan kasus dugaan “jual beli” darah di UDD PMI Banda Aceh kepada PMI Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten boleh disebut mulai reda.
Kabar tak elok ini memang sempat menyita perhatian banyak pihak. Maklum, soal darah memang bukan kabar biasa, sebab menyangkut nilai kemanusian dan hajat hidup orang banyak.
Karena itulah, bagi jurnalis dan media pers (cetak dan online). Mewartakan informasi sensitif seperti ini, membutuhkan sejumlah aturan dan standar etika serta paham kode etik jurnalistik (KEJ), selain berpulang pada hati nurani wartawan.
Ini bermakna, pertanggungjawaban produk berita tak sekedar bahwa media pers cetak atau online itu, sudah terverifikasi administrasi dan faktual serta wartawannya telah lulus uji kompetensi wartawan (UKW) sekelas; UTAMA dari Dewan Pers.
Sebaliknya, bukan mustahil pula dalam banyak kasus dan peristiwa, seorang jurnalis bisa saja tertipu dan ditipu oleh narasumber, data dan fakta sebenarnya. Ini disebabkan, lagi-lagi karena ketidak-pekaan si jurnalis terhadap prinsip dasar untuk memproduksi berita.
Anda mungkin bisa ingat dan pernah membaca tulisan Wisnu Prasetya Utomo dengan judul; Ketika Jurnalis Tertipu, yang diwartakan laman remotivi.or.id, pada 21 Juni 2016.
Begini Wisnu memulai tulisannya. Judul dan isi berita “Marlboro Jual Rokok Ganja” yang ditulis Tempo.co itu kini sudah diganti. Awalnya, berita itu berisi keterangan bahwa perusahaan rokok Marlboro telah menjual rokok ganja dan sudah tersedia di berbagai gerai khusus berlisensi.
Ternyata berita itu hoax, sumber awal berita itu adalah situs parodi Abril Uno. Setelah menyadari kesalahannya, Tempo.co meralat dan memberikan keterangan di berita yang baru.
Di waktu yang lain, Kompas.com menulis berita tentang seorang perempuan yang rela ditiduri laki-laki agar ia bisa keliling dunia. Tapi ternyata itu juga berita bohong. Itu adalah cerita yang difabrikasi oleh sebuah perusahaan aplikasi telepon genggam. Tidak ada keterangan penjelas di berita Kompas.com yang menyebut bahwa berita tersebut palsu.
Fenomena tersebut bukan gejala khas jurnalisme daring di Indonesia saja, tetapi melanda di media-media di berbagai negara. Dalam risetnya yang berjudul Lies, Damn Lies, and Viral Content Craig Silverman menyebutkan bahwa, banyak media besar bisa tertipu berita-berita palsu. Ia memberikan contoh ketika terjadi kasus penculikan puluhan mahasiswa di Meksiko diculik pada 2014 lalu.
Beberapa waktu setelah puluhan mahasiswa diculik, banyak media yang memberitakan telah ditemukannya kuburan massal yang terdapat jenazah para mahasiswa tersebut.
Media-media seperti CNN, Guardian, BBC, Time, dan Washington Post ikut memberitakannya. Belakangan, ketika sudah dilakukan tes DNA ternyata jenazah-jenazah tersebut tidak sesuai dengan kelompok mahasiswa yang dimaksud.
Ironisnya, banyak media yang keliru memberitakan tersebut tidak menulis berita lanjutan. Washington Post misalnya, di awal kejadian menulis tiga berita terkait penemuan kuburan tersebut, namun hanya menuliskan satu berita untuk meralatnya. Time dan CNN bahkan tidak memberikan ralat sama sekali.
Dari temuan tersebut dan juga pada isu-isu lain, Craig Silverman menjelaskan setidaknya ada 2 catatan tentang bagaimana media merespon berita-berita hoax atau palsu.
Pertama, dengan melakukan update atau follow up. Update berarti media meralat kesalahan langsung di berita pertama, sementara follow up berarti membuat berita baru dan tetap membiarkan berita lama yang keliru.
Kedua, media cenderung untuk memperbaiki berita yang segera diketahui kesalahannya dalam waktu 24 jam setelah dipublikasikan. Sementara media yang rata-rata baru sadar bahwa ada kesalahan dalam pemberitaannya, cenderung tidak meralat atau memperbaiki berita tersebut.
Craig Silverman juga menyebut bahwa fenomena ini bukan hal yang mengejutkan. Ia dikendalikan oleh model bisnis media digital, teknik optimasi mesin pencari, serta berbagai faktor yang membuat media harus menampilkan berita yang punya kecenderungan viral tinggi di media sosial.
Kondisi psikologis jurnalis dalam situasi semacam ini dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai media satire atau kelompok-kelompok yang memfabrikasi sebuah isu.
Menariknya, beberapa media sadar dengan kecenderungan yang negatif terhadap dunia jurnalisme ini dan mulai memikirkan strategi untuk memperbaikinya. Salah satunya dengan memberikan ruang khusus bagi para pemeriksa fakta.
Di Swedia misalnya, media Metro memiliki rubrik khusus bernama Viralgranskaren yang dikelola oleh tiga wartawannya. Tugas mereka adalah membongkar dan memeriksa fakta berbagai berita yang menjadi viral di media-media di Swedia.
“Washington Post juga memiliki kolom khusus bernama “What was fake on the internet this week” untuk melihat berita-berita palsu yang kadung populer di media sosial,” begitu Wisnu Prasetya Utomo menutup tulisan yang mencerahkan ini.
Nah, dari tulisan Wisnu tadi, ada persoalan yang sesungguhnya menjadi renungan bagi seorang jurnalis. Intinya, ada beberapa kategori yang wajib menjadi perhatian utama yaitu, akurasi, validasi, konfirmasi, cek dan ricek; kesalahan penulisan pada data; sumber berita yang relevan; akurasi judul dengan isi; serta akurasi antara foto dengan isi.
Memang itu tidak mudah, apalagi pada media pers (cetak dan online) baru. Jurnalisnya dituntut bekerja secara cepat sehingga cenderung menghasilkan berita yang tidak objektif.
Selain itu, dituntut lebih memperhatikan kecenderungan aktual menyangkut kredibilitas dan akurasi, transparansi dan multimedia massa, serta harus waspada terhadap kecepatan penyampaian berita yang seimbang dengan kapasitas akurasinya.
Salah satu syarat berita adalah harus objektif (akurat, fairliness, lengkap serta netral dan berimbang). Namun meski, kenyataannya pemberitaan di media pers, seringkali terkesan tidak objektif karena adanya kepentingan yang melatarbelakanginya.
Lantas, bagaimana kondisi nyata tentang reportase objektif? Walau sudah bertahun-tahun menjadi wartawan, bukanlah jaminan jika seorang wartawan pernah menulis berita yang murni objektif.
Sebab, setiap orang (wartawan) mempunyai sudut pandang dalam tulisannya. Kecuali itu, ada juga ide yang berbeda. Artinya, tidak ada satu berita pun yang benar benar objektif murni. Hal ini selalu dipengaruhi oleh banyak hal.
Tetapi yang perlu dipahami bahwa, realitas media dibangun berdasarkan syarat-syarat dan aturan aturan tertentu atau adanya pembatasan. Batasan itu diantaranya adalah nilai berita, format penulisan, etika dan undang-undang serta kode etik.
Mengapa demikian? Karena akurasi dalam pemberitaan berarti tepat, benar, dan tidak ada kesalahan. Prinsip akurasi sangat penting dalam menjaga kredibilitas media dan jurnalis, serta menjamin kepercayaan publik.
Akurasi berita adalah, memberi kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang dicapai lewat penyajian serta penekanan detail faktanya.
Selain itu, merupakan salah satu prinsip utama dalam penulisan berita. Akurasi juga menjadi unsur atau alasan utama mengapa sebuah pemberitaan bisa dipercaya publik.
Sebab itu, jurnalis harus melakukan cek dan ricek atau konfirmasi sebelum menulis berita. Tidak hanya itu, kejelian dalam penulisan deskripsi beritanya juga harus sangat diperhatikan.
Intinya, akurasi dalam pemberitaan mengandung makna bahwa jurnalis harus tepat, benar, dan cermat dalam melaporkan fakta, data dan peristiwa. Mulai dari penulisan informasi, seperti nama narasumber hingga pernyataan terkait sebuah peristiwa.
Karena itu, akurasi dalam pemberitaan juga berarti, jurnalis harus mencatat temuan fakta serta menulisnya dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan. Dengan menerapkan prinsip akurasi, kepercayaan khalayak terhadap pemberitaan, serta kredibilitas jurnalis dan media dapat tetap terjaga.
Hal lain adalah, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada Pasal 1 menegaskan. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsirannya adalah, independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Sementara akurat bermakna, dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. Sedangkan berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara. Lalu, bagaimana dengan tidak beritikad buruk? Berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 3 menyebut; Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Tafsirannya, menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Berimbang adalah, memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Sementara Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan.
Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. Dan yang tak kalah penting, asas praduga tak bersalah yaitu, prinsip tidak menghakimi seseorang atau narasumber. Apalagi mengenai hajat hidup orang banyak atau kemanusiaan.***
Tulisan ini dikutip dari MODUSACEH.co telah memperoleh izin