Sabtu, 16/11/2024 - 16:33 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ACEH

Wartawan, Media Online dan Akurasi Berita “Jual Darah” di UDD PMI Banda Aceh

Craig Silverman juga menyebut bahwa fenomena ini bukan hal yang mengejutkan. Ia dikendalikan oleh model bisnis media digital, teknik optimasi mesin pencari, serta berbagai faktor yang membuat media harus menampilkan berita yang punya kecenderungan viral tinggi di media sosial.

Kondisi psikologis jurnalis dalam situasi semacam ini dimanfaatkan dengan baik oleh berbagai media satire atau kelompok-kelompok yang memfabrikasi sebuah isu.

Menariknya, beberapa media sadar dengan kecenderungan yang negatif terhadap dunia jurnalisme ini dan mulai memikirkan strategi untuk memperbaikinya. Salah satunya dengan memberikan ruang khusus bagi para pemeriksa fakta.

Di Swedia misalnya, media Metro memiliki rubrik khusus bernama Viralgranskaren yang dikelola oleh tiga wartawannya. Tugas mereka adalah membongkar dan memeriksa fakta berbagai berita yang menjadi viral di media-media di Swedia.

“Washington Post juga memiliki kolom khusus bernama “What was fake on the internet this week” untuk melihat berita-berita palsu yang kadung populer di media sosial,” begitu Wisnu Prasetya Utomo menutup tulisan yang mencerahkan ini.

Nah, dari tulisan Wisnu tadi, ada persoalan yang sesungguhnya menjadi renungan bagi seorang jurnalis. Intinya, ada beberapa kategori yang wajib menjadi perhatian utama yaitu, akurasi, validasi, konfirmasi, cek dan ricek; kesalahan penulisan pada data; sumber berita yang relevan; akurasi judul dengan isi; serta akurasi antara foto dengan isi.

Memang itu tidak mudah, apalagi pada media pers (cetak dan online) baru. Jurnalisnya dituntut bekerja secara cepat sehingga cenderung menghasilkan berita yang tidak objektif.

Selain itu, dituntut lebih memperhatikan kecenderungan aktual menyangkut kredibilitas dan akurasi, transparansi dan multimedia massa, serta harus waspada terhadap kecepatan penyampaian berita yang seimbang dengan kapasitas akurasinya.

Salah satu syarat berita adalah harus objektif (akurat, fairliness, lengkap serta netral dan berimbang). Namun meski, kenyataannya pemberitaan di media pers, seringkali terkesan tidak objektif karena adanya kepentingan yang melatarbelakanginya.

Lantas, bagaimana kondisi nyata tentang reportase objektif? Walau sudah bertahun-tahun menjadi wartawan, bukanlah jaminan jika seorang wartawan pernah menulis berita yang murni objektif.

Sebab, setiap orang (wartawan) mempunyai sudut pandang dalam tulisannya. Kecuali itu, ada juga ide yang berbeda. Artinya, tidak ada satu berita pun yang benar benar objektif murni. Hal ini selalu dipengaruhi oleh banyak hal.

Tetapi yang perlu dipahami bahwa, realitas media dibangun berdasarkan syarat-syarat dan aturan aturan tertentu atau adanya pembatasan. Batasan itu diantaranya adalah nilai berita, format penulisan, etika dan undang-undang serta kode etik.

Mengapa demikian? Karena akurasi dalam pemberitaan berarti tepat, benar, dan tidak ada kesalahan. Prinsip akurasi sangat penting dalam menjaga kredibilitas media dan jurnalis, serta menjamin kepercayaan publik.

Akurasi berita adalah, memberi kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang dicapai lewat penyajian serta penekanan detail faktanya.

Selain itu, merupakan salah satu prinsip utama dalam penulisan berita. Akurasi juga menjadi unsur atau alasan utama mengapa sebuah pemberitaan bisa dipercaya publik.

Sebab itu, jurnalis harus melakukan cek dan ricek atau konfirmasi sebelum menulis berita. Tidak hanya itu, kejelian dalam penulisan deskripsi beritanya juga harus sangat diperhatikan.

Intinya, akurasi dalam pemberitaan mengandung makna bahwa jurnalis harus tepat, benar, dan cermat dalam melaporkan fakta, data dan peristiwa. Mulai dari penulisan informasi, seperti nama narasumber hingga pernyataan terkait sebuah peristiwa.

Karena itu, akurasi dalam pemberitaan juga berarti, jurnalis harus mencatat temuan fakta serta menulisnya dengan hati-hati agar tidak terjadi kesalahan. Dengan menerapkan prinsip akurasi, kepercayaan khalayak terhadap pemberitaan, serta kredibilitas jurnalis dan media dapat tetap terjaga.

Hal lain adalah, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada Pasal 1 menegaskan. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

1 2 3

Reaksi & Komentar

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ البقرة [256] Listen
There shall be no compulsion in [acceptance of] the religion. The right course has become clear from the wrong. So whoever disbelieves in Taghut and believes in Allah has grasped the most trustworthy handhold with no break in it. And Allah is Hearing and Knowing. Al-Baqarah ( The Cow ) [256] Listen

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi