BANDA ACEH – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menjawab berbagai tudingan yang dialamatkan kepadanya usai film Dirty Vote tayang di platform media sosial Youtube. Dirinya dituding sebagai bagian dari kelompok kiri hingga kelompok radikal.
“Di tubuh saya sekarang itu ada enam hal di Tiktok itu, ada yang mengatakan ini kerjaan kelompok kiri komunis, yang kedua kelompok radikal, itu udah enggak ketemu sebenarnya tapi ketemu ada yang mengatakan itu,” kata Zainal dalan diskusi film Dirty Vote yang digelar di Fisipol UGM, Selasa (13/2/2024).
Dirinya juga dituding sebagai orangnya PDIP. Zainal berkelakar bahwa baju merah yang ia punya hanya seragam klub basket Amerika Serikat, Chicago Bulls.
“Satu-satunya baju merah yang saya punya adalah Chicago Bulls, kebanyakan baju saya hitam atau biru donker. Enggak ada, saya enggak punya baju merah,” ucapnya.
Selain itu dirinya juga dituduh sebagai simpatisan PKS. Pegiat Anti Korupsi tersebut juga dituding sebagai anak buah cawapres nomor urut 3 Mahfud MD. Hal tersebut dikaitkan lantaran dirinya pernah bergabung dalam Tim Reformasi Hukum.
“Jadi seumpamanya kalau logikanya hanya karena diajak masuk tim itu menjadi bagian dari Mahfud, menurut saya kejauhan,” tuturnya.
Terakhir, dirinya juga dituduh sebagai adik Mahfud MD. Ia menegaskan jika benar para pakar hukum tata negara yang terlibat dalam film tersebut punya dukungan ke 01 dan 03 maka seharusnya mereka dibela.
“Kalau kami punya dukungan 01 atau 03 misalnya, yang turun untuk belain kami 01 dan 03 yang habis-habisan akan bertarung di Tiktok, Twitter, Instagram. Memang gak ada,” ungkapnya.
Zainal pun sudah dilaporkan oleh DPP Forum Komunikasi Santri Indonesia ke Bareskrim Polri terkait film Dirty Vote. Ia menilai, adanya laporan tersebut merupakan bagian dari risiko yang harus dihadapi.
“Ya gimana? Orang nggak ngapa-ngapain aja juga bisa dilaporin. Saya kira risiko ini sederhana. Bagian dari risiko, dihadapin aja,” kata Zainal.
Sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Santri Indonesia (FOKSI) melaporkan ke Bareskrim Polri para pihak yang terlibat dalam pembuatan film Dirty Vote. Ketua FOKSI Natsir Sahib mengatakan, empat nama yang dilaporkan ke kepolisian tersebut adalah Dandhy Laksono selaku sutradara, dan tiga akademisi sebagai narator dalam karya dokumentar tersebut, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Natsir dalam penjelasannya mengatakan, pelaporan terhadap keempat orang tersebut, lantaran peran masing-masing yang melakukan tindak pidana pemilu. FOKSI, kata Natsir sudah melaporkan keempat orang tersebut ke Bareskrim Polri, pada Senin (13/2/2024).
“Kemarin kami sudah berkonsultasi, dan melaporkan keempatnya ke Bareskrim Polri terkait dengan film Dirty Vote tersebut,” kata Natsir, saat dikonfirmasi, Selasa (13/2/2024).
Menurut dia, dalam pelaporan tersebut, FOKSI mengacu pada penjeratan sangkaan Pasal 287 ayat (5) Undang-undang (UU) 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). “Karena penayangan film Dirty Vote tersebut dilakukan di masa tenang pemilu, sehingga memunculkan kegaduhan dan menyudutkan salah-satu capres, dan itu bertentangan dengan UU Pemilu,” kata Natsir.
Menurut dia, pelaporan tersebut atas inisiatif kelompoknya sendiri yang menghendaki proses penyelenggaraan pemilu terlaksana dengan damai, dan tertib. Namun kata dia, produksi, dan penayangan film Dirty Vote yang dilakukan oleh keempat terlapor setelah usai masa kampanye tersebut, sudah mengganggu tentang harapan untuk gelaran pemilu yang baik.
“Kami meminta Bareskrim Polri, agar profesional dalam mengusut dugaan tindak pidana pemilu ini, karena di masa tenang ini termasuk pelanggaran pemilu yang serius,” kata Natsir.
Natsir pun mengatakan, film Dirty Vote tersebut seperti sengaja di luncurkan di masa pascakampanye untuk mendegradasi pemerintahan, serta salah-satu paslon peserta Pilpres 2024. Natsir menuding, para terlibat dalam produksi, maupun penayangan film Dirty Vote tersebut terafiliasi dengan salah-satu paslon lain yang juga peserta Pilpres 2024.
“Keterlibatan tiga akademisi dalam film Dirty Vote tersebut, diketahui menjabat sebagai tim reformasi hukum di Kemenko Polhukam yang pernah dijabat oleh Mahfud MD. Dan Mahfud MD saat ini adalah kontestan Pilpres 2024,” kata Natsir.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), Yusril Ihza Mahendra, melihat tayangan film Dirty Vote, lebih banyak berisikan kritik terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka. Sehingga menurut Yusril, ada yang menilai Dirty Vote ini sebagai bentuk propaganda jelang hari H Pemilu 2024.
“Berbagai isu diangkat dalam film ini antara lain ketidaknetralan para penyelenggara dan pejabat negara dalam pelaksanaan Pemilu walau tak hanya spesifik terhadap paslon Prabowo-Gibran, tapi porsinya lebih besar dari pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Bahkan, sedikit sekali tayangan tentang Amin,” kata Yusril, melalui video reels yang ia unggah di akun instagram @yusrilihzamhd, Selasa (13/2/2024).
Karena film Dirty vote tidak berimbang, menurut Yusril, wajar bila ada publik yang menilai film dokumenter tersebut merupakan pesanan dari pihak atau kubu tertentu. Yusril yang juga bagian dari Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, menjelaskan dirinya juga pernah terlibat dalam penggarapan film.
Baik itu film serial, aksi, dan layar lebar. Sehingga ia merasa dapat menilai bahwa Dirty Vote bukanlah sebuah film dokumenter. Melainkan kumpulan tayangan kutipan berita, dan opini dari tiga pakar di dalamnya yaitu Feri Amsari, Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti.
“Saya melihat Dirty Vote ini adalah tidak bisa ini dikatakan sebagai film dokumenter karena menayangkan berbagai pemberitaan media melalui audio visual, kemudian tiga pakar,” ujar Yusril.
Meski begitu, Yusril juga melihat ada sisi edukasi dari Dirty Vote. Yakni tentang ajakan kepada pemilih supaya berhati-hati menentukan pilihan. Lalu lanjut Yusril juga ada ajakan kepada masyarakat agar lebih kritis terhadap perkembangan Politik dan situasi Pemilu saat ini.
Menurut Yusril, materi kritik dari film Dirty Vote adalah sebuah hal yang wajar di negara demokrasi. Di mana setiap orang bebas mengemukakan pendapat. Tapi kata mantan Menteri Sekretaris Negara itu, sebuah kewajaran juga bila ada pihak yang mengkritik film Dirty Vote sebagai sebuah propaganda untuk menjatuhkan pamor dari salah satu pasangan capres-cawapres.